Chusing's Syndrome
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dalam
masyarakat seringkali ditemukan gejala penyakit yang hampir sama antara
penyakit satu dengan penyakit yang lain. Seorang dokter harus jeli
dalam menganalisis gejala dan tanda yang ada dan pemeriksaan fisik. Dari
situ saja belum bias ditegakkan diagnosa pasti, tapi harus dilakukan
ters-test penunjang. Setelah ditetapkan suatu penyakit, harus mengetahui
penyakit dengan klasifikasi yang mana, jika memang penyakit itu
memiliki klasifikasi penyebabnya.
Seperti
halnya dengan Cushing’s Syndrome. Penyakit ini berkaitan dengan hormon.
Padahal regulasi hormon dalam tubuh selalu berkaitan dengan
hormon-hormon lain, termasuk hormon yang menstimulasinya. Kesalahan pada
hormon tentu sangat berkaitan dengan organ penghasilnya. Kelainan pada
organ tersebut bisa menimbulkan hiperfungsi, hipofungsi, ataupun
kedua-duanya sehingga berdampak pada gejala yang ditimbulkan.
Skenario
Seorang
wanita umur 32 tahun, dirawat di ruang rawat inap penyakit dalam rumah
sakit Dr Moewardi Surakarta dengan keluan sering pusing.
Riwayat penyakit sekarang :
5
bulan yang lalu penderita merasakan bahwa pusing kumat-kumatan,
badannya kelihatan makin membesar dan lemah. 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit pusingnya bertambah berat dan badan semakin melemah dan
diperiksakan ke dokter dikatakan gejala Cushing’s syndrome
Riwayat penyakit dahulu;
Penderita sudah tidak menstruasi sejak 4 bulan (amenorhoe) dan tidak hamil
Pemeriksaan fisik :
Keadaan
umum lemah, gizi obeis, kesadaran compos mentis. Tekanan darah
Hipotensi (90 / 60 mm Hg). Muka moon face, tumbuh rambut banyak di
dada, striae di abdomen dan kulit seluruh badan hiperpigmentasi.
Pemeriksaan penunjang :
Kadar natrium serum 130 mg/dl, kadar gula darah puasa 70 mg/dl. Two-day low-dose dexamethason test masih menunggu hasil,
Penderita telah dilakukan pemeriksaan CT scan doubel kontras kepala ditemukan tumor di hipofise.
Hipotesis
Wanita tersebut pada awalnya mengidap Cushing’s syndrome kemudian terjadi hipofungsi hipofisis.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa penyebab dari gejala-gejala yang dirasakan pasien?
2. Bagaimana hubungan gejala-gejala tersebut dengan Cushing Syndrome dan tumor hipofisis?
3. Mengapa terdapat beberapa gejala yang bertolak belakang dengan gejala umum Cushing Syndrome?
4. Bagaimana efek dari hormon-hormon yang bekerja pada penyakit di skenario ini?
5. Apa fungsi tes laboratorium yang dilakukan pasien?
C. TUJUAN
1. Mengetahui mekanisme timbulnya gejala yang dialami pasien.
2. Mengetahui hubungan gejala-gejala yang timbul dengan penyakit yang di derita pasien.
3. Memahami timbulnya beberapa gejala yang bertolak belakang dengan penyakit yang diderita.
4. Memahami regulasi hormon yang berkaitan.
5. Mengetahui fungís tesr laboratorium yang dilakukan.
D. MANFAAT
1. Mahasiswa dapat menganalisis penyakit yang berkaitan dengan system endokrin.
2. Mahasiswa dapat memberikan penatalaksanaan yang tepat dari penyakit yang didiagnosis.
BAB II
STUDI PUSTAKA
A. HORMON MINERALOKORTIKOID
Dinamakan
hormon mineralokortikoid karena hormon ini terutama mempengaruhi
elektrolit (“mineral”)cairan ekstrasel, terutama natrium dan kalium.
Hormon yang memiliki paling banyak aktivitas mineralokortikoid adalah
hormon aldosteron, tetapi juga memilliki sedikit aktivitas
glukokortikoid. Hormon tersebut dihasilkan di korteks adrenal zona
glomerolusa. Pengeluarannya dirangsang oleh system renin angiostensin II
dan sedikit pengaruh ACTH. Renin angiostensin II merupakan peribahan
dari angiostensin I dimana hasil perubahan renin yang dihasilkan oleh
ginjal.
Semua
hormon koteks adrenal merupakan hormon steroid. Hormon
mineralokortikoid memiliki peranan, yaitu meningkatkan reabsorbsi
natrium dan sekresi kalium di tubulus ginjal, meningkatkan volume cairan
ekstrasel dan tekanan arteri serta merangsang transpor Natrium dan
Kalium di kelenjar keringat, liur, dan sel epitel usus.
(Guyton and Hall, 2007)
B. HORMON GLUKOKORTIKOID
Hormon
glukokortikoid merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh korteks
adrena pada zona fasikulosa. Hormon ini memiliki efek yang penting dalam
meningkatkan konsentrasi glukosa darah. Jenis hormon yang memiliki
aktivitas glukokortikoid dan sedikit aktivitas mineralokortikoid adalah
hormon kortisol. Sekresi hormon tersebut distimulasi oleh ACTH.
Peranan
hormon glukokortikoid diantaranya perangsangan glukoneogenesis,
penurunan pemakaian glukosa oleh sel, peningkatan konsentrasi glukosa
darah, pengurangan protein sel, meningkatkan protein hati dan plasma,
peningkatan asam amino darah dan hati, mobilisasi asam lemak serta
mengatasi stress dan peradangan (Guyton and Hall, 2007).
C. HORMON ANDROGEN
Hormon
androgen sifat kerjanya seperti hormon kelamin pria testosterone.
Hormon ini dihasilkan oleh korteks adrenal sebagian besar pada zona
retikularis dan sebagian kecil pada zona fasikulosa. Hormon yang banyak
mengandung aktivitas androgen adalah dehidroepiandosteron (DHEA).
Sekresi hormon ini dipengaruhi oleh rangsangan ACTH. Hormon ini
mempunyai efek lemah pada manusia. Normalnya, androgen memberikan efek
ringan pada wanita. Androgen berperan dalam maskulinisasi.
(Guyton and Hall, 2007)
D. HORMON ADRENOKORTIKOTROPIN (ACTH)
ACTH
merupakan jenis hormon protein. Hormon ini dihasilkan di hipofisis
anterior yang nantinya akan merangsang pengeluaran hormon pada sel
target korteks adrenal (terutama pada zona fasikulosa dan retikularis).
Sekresi dari hormon ini sendiri distimulasi oleh Cortikotropik Releasing
Faktor (CRF) yang dihasilkan di hipotalamus (Guyton and Hall, 2007).
Pada kasus tumor ektopik, dihasilkan suatu zat polipeptide yang secara
fisiologis dan biokimiawi tidak bisa dibedakan dengan ACTH. Oleh karena
itu biasa disebut dengan ACTH ektopik, yaitu pengeluaran ACTH tanpa
kontrol dari aksi hipotalamus-hipofisis.
E. CUSHING’S SYNDROME
Cushing’s
syndrome merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh
hiperadrenokortikocisme akibat neoplasma korteks adrenal atau
adenohipofisis, atau asupan glukokortikoid berlebih. Namun, jika ada
sekresi hormon sekunder akibat adeno hipofisis disebut cushing’s disease
(Dorland, 2006). Hormon sekunder yang dimaksud adalah hormon ACTH yang
dihasilkan akibat tumor hipofisis. Gejala dan tanda-tanda cushing’s
syndrome yaitu obesitas badan, hipertensi, mudah lelah, amenorhoe,
hirsutisme, striae abdomen berwarna ungu, edema, glukosuria,
hiperpigmentasi, osteoporosis (menyebabkan kifosis karena berkurangnya
endapan protein dalam tulang), buffalo hump, moon face (wajah bulat
karena penumpukkan lemak dan berjerawat) (Piliang dan Chairul, 2007).
Cushing’s syndrome dapat diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, yaitu:
1. Hiperplasia Adrenal
a. Sekunder terhadap kelebihan produksi ACTH hipofisa
- Disfungsi hipotalamik hipofisa
- Mikro dan makroadenoma yang menghasilkan ACTH hipofisa
b. Sekunder terhadap tumor nonendokrin yang menghasilkan ACTH dan CRH
2. Hiperplasia Noduler Adrenal
3. Neoplasia Adrenal
- Adenoma (tumor jinak)
- Karsinoma (tumor ganas)
4. Penyebab eksogen (iotrogenik)
- Penggunaan glukokorikoid jangka lama
- Penggunaan ACTH jangka lama
Sebagai diagnosis banding penyebab-penyebab tersebut bisa digolongkan sebagai berikut:
1. ACTH dependent
a. Adenoma hipofisa
b. Neoplasma nonendokrin (ACTH ektopik)
2. ACTH independent
- Iatrogeneik
- Neoplasma adrenal
- Hyperplasia nodular adrenal
- Factitious
(Piliang dan Chairul, 2007)
F. TEST DEXAMETHASON
Ada
2 jenis dexamethason test, yaitu low dose dan high dose. Low dose
dexamethason test dengan memberikan kadar kortisol dan
17-hidroksikortison dalam urin setelah pemberian dexamethason pada 3 – 4
x kadar yang digunakan pada terapi pengganti. Dosis ini untuk
mengetahui pasien yang normal (ditandai dengan tertekannya kortisol) dan
yang mengalami chusing’s syndrome. Sedangkan high dose dexamethason
test diberikan dengan kadar 16 x kadar yang digunakan pada terapi
pengganti. Pada dosis ini kortisol akan tertekan pada Cushing’s syndrome
(kelainan pada adrenalnya), tetapi tidak untuk ACTH ektopik (Dorland,
2006)
BAB III
PEMBAHASAN
Dalam
skenario telah disebutkan riwayat penyakit sekarang atau bisa juga
dikatakan wanita dalam skenario didiagnosis oleh dokter menderita
Cushing’s Syndrome. Namun, ada beberapa gejala yang dialami pasien
tersebut berlawanan dengan gejala-gejala yang timbul pada Cushing’s
Syndrome. Oleh karena itu, analisa terhadap riwayat penyakit dahulu dan
test lab harus dilakukan.
Gejala
yang paling dirasakan pasien adalah sering pusing. Hal ini bisa diduga
penyakit tersebut berkaitan dengan kepala, kelainan atau tumor di
hipotalamus ataupun hiipofisis belum dapat dipastikan. Gejala lain yang
ditimbulkan seperti badan bertambah besar tapi lemas dan amenorhoe
tetapi tidak hamil, hiperpigmentasi mengarah pada suatu kelainan akibat
pengaruh hormon. Dugaan awal adalah adanya tumor di kepala. Namun
kelenjar apa yang berhubungan belum bisa diduga. Jika itu ada tumor di
hipotalamus, akan menyebabkan hipersekresi CRF (Corticotropin Realising
Faktor) sehingga ACTH pun berlebih sehingga adrenokortikoid pun
meninggi. Begitu juga jika ada tumor di hipofisis, sekresi ACTH
berlebih, sehingga terjadi peningkatan hormon adrenokortikoid. Walaupun
pelepasan mineralokortikoid sedikit dipengaruhi oleh ACTH, bila ACTH
berlebih tetap akan menimbulkan pengaruh mineralokortikoid yang
bermakna. Sedangkan hormon kortisol dan aldosteron disekresikan dalam
jumlah yang berlebih. Hormon kortisol yang berlebih akan menimbulkan
aktivitas glukokortikoid yang berlebih pula dan efek mineralokortikoid
yang cukup bermakna. Begitu juga dengan peningkatan androgen yang
berlebih, akan menyebabkan efek maskulinisasi pada wanita (Price and
Lorraine, 2005).
Badan
yang bertambah besar dan wajah moon face disebabkan oleh
glukoneogenesis yang berlebih dan mobilisasi lemak, sehingga terjadi
penumpukan lemak dan terakadang penderita akan mengidap diabetes
melitus. Sedangkan otot menjadi lemah juga karena efek glukokortoid
berlebih sehingga terjadi pemecahan protein di otot yang berlebih pula.
Akibat dari pemecahan protein berlebih itu juga bisa menimbulkan striae
(seperti goresan-goresan berwarna ungu) karena serabut kolagen yang
terdapat dalam jaringan sub kutan berkurang sehingga menjadi mudah
robek. Amenorhoe dan hirsutisme (pertumbuhan rambut yang abnormal) di
dada merupakan efek dari hipersekresi androgen sehingga terjadi
perubahan seperti laki-laki pada perempuan. Dengan meningkatnya ACTH,
DHEA juga akan meningkat, sehingga akan memeberikan feed back negatif
pada Gonadropin Releasing Hormon (GnRH), dengan sedikitnya GnRH, ovarium
tidak akan menyintesis hormon-hormon sex, sehingga terjadilah
maskulinisasi. Hiperpigmentasi terjadi karena kelebihan MSH (Melanosyt
Stimulating Hormon). MSH distimulasi oleh POMC (Proopiomelanokortin)
yang dihasilkan ketika ACTH dihasilkan. Dengan begitu, jika ACTH
meningkat, POMC juga akan meningkat dan MSH pun meningkat.
Salah
satu gejala yang menyimpang dari pasien adalah hipotensi. Padahal
seharusnya pasien mengalami hipertensi. Hal tersebut dipengaruhi sekresi
aldosteron yang berkaitan dengan pengaturan kadar Natrium. Dengan
tingginya aldosteron, maka Na dalam darah juga meningkat sehingga cairan
ekstrasel pun meningkat. Untuk menormalkan kondisi seperti itu, tekanan
jantung akan meningkat untuk mensekresi air dan garam.
Untuk
memeperkuat diagnosis sebelumnya, maka perlu diadakan test lab. Dari
pemeriksaan natrium didapatkan kadar Na dalam serum rendah, dan kadar
glukosa normal mendekati rendah. Mungkin hasil tersebut berkaitan dengan
gejala hipotensi yang ditimbulkan. Test dexamethason dengan dosis
rendah tersebut sedang menunggu hasil, sehingga belum bisa dipastikan
apakah wanita tersebut benar-benar terkena cushing’s syndrome. Namun,
pada pemeriksaan CT Scan double kontras (memakai resolusi tinggi untuk
menghasilkan gambar yang jelas) ditemukan tumor di hipofisis. Dengan
begitu mungkin bisa menjelaskan perbedaan gejala yang dialami wanita
tersebut. Karena tumor tersebut, menyebabkan kerusakan sel kortikotropin
(penghasil ACTH) sehingga terjadi sekresi ACTH tak terkendali dan
timbullah Cushing’s Syndrome. Setelah ACTH keluar semua, sedangkan sel
mengalami hipofungsi, menyebabkan hiposekresi ACTH dan muncul peristiwa
yang berkebalikan, hormon adrenal pun menjadi sedikit. Oleh karena itu,
gejala yang ditimbulkan menjadi kebalikannya. Dari data-data yang telah
didapat, bisa dikatakan wanita tersebut sudah tidak berada pada fase
cushing’s syndrome lagi, tetapi sudah mengalami hipofungsi hipofisis.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. SIMPULAN
1. Diagnosis
awal belum bisa memastikan penyakit yang diderita, namun harus
ditunjang dengan test laboratorium untuk mengakkan diagnosis pasti.
2. Gejala-gejala yang berkebalikan bisa ditimbulkan dari perubahan fungsi sel yang berkaitan.
3. Kelainan
pada hipofisis menyebabkan sekresi berlebihan ACTH dan hormon adrenal,
sedangkan jika kelainan pada adrenal, tidak berpengaruh pada kenaikan
ACTH.
4. Hormon-hormon
akan selalu mempengaruhi satu sama lain dengan memberi feed back
sehingga gejala yang timbul tidak hanya akibat dari satu hormon saja.
B. SARAN
1. Jangan langsung menegakkan diagnosa pasti sebelum dilakukan test-test penunjang.
2. Dari gejala-gejala yang ada, periksa dahulu gejala utama lalu dikaitkan dengan gejala yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Dorland, W.A. Newman. 2006. Kamus Kedokteran Dorland-Edisi 29. Jakarta: EGC.
Guyton, A.C., John E. Hall, 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Piliang, Sjafii dan Chairul Bahri. 2007. Hiperkortisolisme.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Price, Sylvia A and Lorraine M Wilson. 2005. Patofisologi Volume 2. Jakarta: EGC.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar